Menjelajah Candi Borobudur, Sekilas Sejarah Candi Budha Yang Menarik


Selamat datang di Candi Borobudur salah satu bangunan suci agama Budha, yang telah menyandang sebagai situs warisan budaya dunia sejak tahun 1991. Bangunan ini memiliki makna luhur dan bersejarah bagi masyarakat Indonesia, yang membuat semua mata terkesima dengan kemegahan dan keindahan candi ini. Pemerintah Indonesia telah menetapkan Candi Borobudur sebagai cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tersendiri sebagai daya tarik wisata utama, dan menjadi destinasi wisata prioritas bagi pengunjung nusantara dan juga mancanegara.

Menjelajahi Borobudur merupakan suatu langkah yang tepat untuk memahami secara mendalam tentang wawasan dan nilai-nilai budaya yang terdapat pada candi ini dengan lebih baik. Mengenal Borobudur dan sekitarnya akan menjadi kesempatan yang menarik untuk menelusuri secara detail sejarah, filosofi, dan makna simbolis yang terkandung dalam relief serta teknik arsitektur Borobudur dengan jelas.

Candi Borobudur dan sekitarnya telah menarik antusiasme yang luar biasa, dan menjadi pusat perhatian karena memiliki nilai sejarah, arkeologi, dan spiritual yang tinggi bagi wisatawan. dengan tujuan untuk mempelajari dan memperdalam narasi sejarah, arsitektur, dan seni rupa bangunan ini. Menikmati wisata sejarah, dan mengagumi kemegahan serta keindahan arsitektur Borobudur merupakan bentuk apresiasi dan partisipasi dalam melestarikan warisan budaya leluhur.

Kemegahan dan keindahan Borobudur memberikan perspektif yang berbeda dan memperkaya pengetahuan akan cerita - cerita lokal dan juga fakta - fakta yang menarik tentang bangunan ini. Melihat lebih dekat tentang Candi Borobudur dan sekitarnya untuk menggali narasi sejarah, arsitektur, dan seni rupa warisan budaya leluhur, dengan tujuan untuk menghargai keunikan dan nilai - nilai luhur, serta berkontribusi mendukung dalam upaya pelestarian warisan budaya ini.

Struktur piramida berundak
Terdiri atas enam teras bujur sangkar diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan terdapat 504 arca Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Candi Borobudur

Menyebutkan Candi Borobudur terletak di atas bukit dan berada dikelilingi oleh gunung dan perbukitan. Menengok ke arah barat, terdapat Gunung Sundoro dan Sumbing. Di sebelah timur terdapat Gunung Merbabu dan Merapi. Dilihat ke utara, kurang lebih 15 kilometer dari Borobudur terdapat bukit Tidar, dan di selatan dibatasi oleh perbukitan Menoreh. Borobudur berada di dekat pertemuan dua sungai yaitu Progo dan Elo yang letaknya di sebelah timur Candi Borobudur dan Candi Pawon.

Barabudur atau lebih dikenal namanya sebagai Borobudur, candi suci umat Budha. Menyebutkan nama candi Borobudur, berasal dari dua kata yaitu kata 'bara' berasal dari kata 'biara' yang berarti tempat untuk pemujaan bagi umat Budha atau kuil, dan kata 'budur' berasal dari bahasa Bali 'beduhur' yang berarti 'di atas' atau 'bukit'. Maka makna kata 'biara dan beduhur' berubah menjadi Bara Budur, karena pergeseran bunyi menjadi Borobudur, yang artinya candi atau biara di atas bukit.

Borobudur merupakan bangunan suci dengan arsitektur piramida berundak, yang dibangun sebagai tempat suci para penganut agama Budha, sekitar tahun 800 Masehi pada masa pemerintahan Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Bangunan ini dirancang dengan bentuk arsitektur Budha Jawa, yakni perpaduan budaya asli pemujaan leluhur Indonesia dan konsep agama Budha untuk mencapai Nirvana. Bangunan ini merupakan candi Budha Mahayana yang terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar dan tiga teras lingkaran, serta terdapat stupa terbesar yang berada ditengah, yang dikelilingi oleh 72 stupa berterawang, serta pada dindingnya dihiasi oleh 2.672 panel relief dan terdapat 504 arca Budha.

Candi Borobudur merupakan bentuk lambang dari alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Budha sekaligus memiliki ranah spiritual yang berfungsi sebagai tempat untuk ziarah bagi umat Budha beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Budha. Dalam perjalanan spiritual, umat Budha masuk melalui sisi timur mulai ritual, berjalan searah jarum jam, naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan dalam ranah kosmologi Budha. Ketiga tingkatan yakni; Kamadhatu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud).

Berdasarkan penjelasan sejarah, candi Borobudur pernah ditinggalkan dan terkubur selama beberapa abad. Pada akhirnya Borobudur mulai mendapat perhatian, dan ditemukan kembali pertama kali oleh Sir Thomas Stamfort Rafles, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jendral Inggris di Jawa. Sejarah menyebutkan Candi Borobudur mengalami beberapa upaya konservasi dan penyelamatan melalui pemugaran, yang terbesar dilakukan atas kerjasama Pemerintah Indonesia dan UNESCO, kemudian bangunan bersejarah ini terdaftar sebagai warisan budaya dunia pada tahun 1991.

Candi Borobudur
Candi Budha Mahayana, situs warisan budaya dunia. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Sekilas Borobudur Dalam Prasasti Jawa Kuno

Candi Borobudur merupakan salah satu bangunan suci berlatar belakang agama Budha, yang memiliki keunikan dan keindahan artistik yang luar biasa. Sebagaimana disebutkan, bangunan ini memiliki gaya arsitektur piramida bertingkat, yang sering disebut sebagai punden berundak yakni kebudayaan leluhur Indonesia. Arsitekturnya yang menyerupai stupa dipadukan dengan ukiran relief, dipahat pada dinding - dinding bangunan suci candi.

Tidak terdapat dokumen tertulis tentang keberadaan awal mula pembangunan Candi Borobudur, dan referensi tentang siapa yang pernah membangun, atau tujuan bangunan ini didirikan. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa prasasti atau tulisan yang terpahat pada batu tulis dan pada dinding relief di 'kaki tersembunyi' bangunan ini, memiliki ciri-ciri grafis yang mirip dengan manuskrip atau bentuk tulisan yang umum digunakan dalam prasasti kerajaan antara abad ke-8 dan ke-9.

Keberadaan Borobudur disebutkan sebagai bangunan suci agama Budha dalam pembangunannya dibutuhkan waktu sekitar 100 tahun, di selesaikan pada masa kejayaan pemerintahan Samaratungga, dari Wangsa Syailendra, kurun waktu antara tahun 760 hingga 830 M. Kesimpulan yang jelas adalah bahwa bangunan suci ini kemungkinan didirikan sekitar tahun 800 M. Hal ini dianggap cukup sesuai dengan sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah Jawa Tengah pada khususnya. Pada kurun waktu antara tahun 750 hingga 850 M disebutkan merupakan masa keemasan Wangsa Syailendra. Pada saat itu banyak didirikan sejumlah besar bangunan - bangunan suci, yang ditemukan hampir di seluruh dataran dan lereng gunung. Candi - candi Siwa mendominasi di daerah pegunungan yakni; daerah di dataran Kedu dan Prambanan, baik itu bangunan Siwa dan Budha didirikan berdekatan.

Nama Syailendra pertama kali muncul dalam prasasti batu tulis, ditemukan di Sojomerto di daerah pesisir barat laut Jawa Tengah yang kemudian disebut prasasti Sojomerto. Prasasti Sojomerto tidak berangka tahun, akan tetapi berdasarkan paleografis prasasti tersebut dianggap berasal dari pertengahan abad ketujuh. Prasasti tertua, tidak hanya ditemukan di Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti yang ditemukan dalam prasasti Canggal, dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 732 M. Disebutkan prasasti ini dimaksudkan untuk memperingati berdirinya tempat suci Lingga Siwa di bukit Gunung Ukir, kurang lebih sekitar 10 km sebelah timur Candi Borobudur.

Nama Sanjaya kemudian muncul sekali lagi dalam prasasti Mantyasih berangka tahun 907 M, ditemukan kurang lebih sekitar 15 km sebelah utara Candi Borobudur, prasasti Mantyasih hanya berisi daftar tentang raja-raja sebelum Raja Balitung yang memerintah (yang mengeluarkan prasasti). Prasasti tersebut yang berisi daftar raja - raja yang memerintah, secara eksplisit dianggap berasal dari dinasti Syailendra, hal ini sebenarnya masih diragukan, bahwa Rakai Panangkaran sebenarnya adalah raja Syailendra yang membangun candi Tara di desa Kalasan. Wangsa Syailendra dikenal sebagai pengikut setia aliran Budha, akan tetapi dalam prasasti Sojomerto disebutkan adalah beraliran Hindu. Dalam prasasti Mantyasih juga disebutkan beragama Hindu. Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa raja-raja yang disebutkan didalam prasasti tersebut semuanya adalah pemeluk agama Hindu. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran adalah seorang raja dari Wangsa Sanjaya yang berperan dalam pembangunan kuil atau candi Budha Kalasan, sebenarnya hanyalah untuk memberikan sebidang tanah yang diperlukan dalam pembangunan candi; belum tentu seorang yang beragama Budha. Dalam hal ini agama tidak menjadi perbedaan dan konflik serius di Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin bisa saja bagi seorang raja Hindu berperan dan mendukung pendirian bangunan candi Budha, atau bagi seorang raja yang beragama Budha untuk melakukan hal yang sama sebaliknya.

Anggapan tentang hanya satu dinasti kerajaan, yang memerintah Jawa Tengah kala itu dari mulai abad kedelapan hingga awal abad kesepuluh secara langsung telah menghilangkan anggapan yang terkait mengenai asal usul Wangsa Sailendra dan seberapa luas wilayah kekuasaan kerajaan itu di Jawa Tengah. Karena Laut Jawa merupakan jalur termudah menuju ke Jawa Tengah, yang kemungkinan diharapkan untuk dapat menetap dan berperan aktif di wilayah utara. Namun ini sulit untuk dipastikan dengan fakta bahwa Wangsa Sailendra muncul dalam sejarah berada di bagian selatan Jawa Tengah, sedangkan Wangsa Sanjaya sebelumnya sebenarnya menguasai dan memiliki wilayah lebih jauh ke utara.

Peran yang dimainkan oleh orang - orang Indonesia dalam proses ini tampaknya tidak hanya terbatas pada mengadopsi dan mencerna unsur - unsur budaya India, akan tetapi juga melibatkan kebudayaan aslinya. Asumsi hubungan yang terus menerus, atau setidaknya teratur, akan dapat membantu menjelaskan munculnya kerajaan - kerajaan tertua di berbagai bagian wilayah.

Namun, keterlibatan leluhur pribumi dalam silsilah raja yang memerintah, yang mengeluarkan prasasti, hanya dapat dianggap sebagai suatu hal yang mencerminkan transisi kekuasaan yang lurus; karena tidak dapat dibayangkan bahwa kerajaan - kerajaan ini dapat muncul tanpa periode akulturasi yang cukup lama sebelumnya. Sebenarnya, prasasti - prasasti itu, yang disusun dan ditulis dalam bahasa Sanskerta yang sempurna, tidak akan masuk akal bagi orang - orang yang dituju kecuali jika mereka sudah dapat mengerti bahasa yang cukup asing ini, yang sekarang digunakan dalam beberapa dokumen - dokumen resmi.

Sejarah paling awal Indonesia ditandai dengan kebangkitan, dan akhir yang ditandai secara tiba - tiba, dari berbagai kerajaan - kerajaan tertua. Kerajaan Kutai di Kalimantan (abad kelima) dan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat (abad kelima), yang masing - masing memiliki prasasti kerajaan, dan dikeluarkan oleh satu raja. Keberadaan kerajaan Kanjuruhan di Jawa Timur diketahui dari satu dokumen, yaitu Prasasti Dinoyo tahun 760 M. Aliran dokumen tertulis yang kurang lebih berkelanjutan tersedia di Jawa Tengah, dimulai dengan prasasti Changgal tahun 732 M dan diakhiri dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Balitung pada awal abad kesepuluh.

Dari pertengahan abad ke-10 hingga akhir abad ke-15 dikenal sebagai periode Jawa Timur. Meskipun Sumatera dan Bali juga berkontribusi dalam pembuatan sejarah Indonesia, sebagian besar peristiwanya adalah dokumenter tercantum dalam prasasti dan manuskrip Jawa Timur. Bangunan suci juga terkonsentrasi di Jawa Timur, sehingga Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menjadi istilah - istilah yang dapat diterima berkaitan dengan bangunan suci dan patung dalam sastra.

Sansekerta
Jenis tulisan atau aksara dalam prasasti Jawa Kuno, salah satu tertulis di relif Karmawibhangga, pada prasasti kerajaan abad ke–8 dan ke–9. Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Berdasarkan prasasti Karang Tengah dan prasasti Sri Kahulunan tertulis bahwa "Bhumi Sambhara Budhalra" dan "Kamulan" adalah bangunan Candi Borobudur yang dibangun kurun waktu antara tahun 760 dan 830 M, pada masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah yang masih memiliki pengaruh pada Kerajaan Sriwijaya. Pembangunan Candi Borobudur di selesaikan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825 M. Pada saat itu Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Budha aliran Mahayana, melalui temuan dari prasasti Sojomerto yang menunjukkan bahwa mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itu banyak dibangun berbagai candi - candi Hindu dan Budha di Dataran Kedu.

Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja yang beragama Siwa, Sanjaya memerintahkan untuk mendirikan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir. Candi Budha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi - candi yang berada di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan selesai sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan Candi Siwa Prambanan tahun 850 Masehi.

Pembangunan candi - candi Budha, termasuk Borobudur pada saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran telah memberikan izin kepada umat Budha untuk membangun candi untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada Sangha (komunitas Budha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk tujuan memuliakan Bodhisattwadewi Tara, yang disebutkan dalam Prasasti Kalasan tahun 778 Masehi.

Hal ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menjadi konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Budha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu yaitu Wangsa Syailendra yang menganut Budha dan Wangsa Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian Wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 M di perbukitan Ratu Boko.

Ketidakjelasan juga timbul mengenai Candi Lara Jonggrang di Prambanan yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban atas Wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik Wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.


Stupa-stupa teras Arupadhatu
Stupa utama terletak ditengah dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang di dalamnya terdapat arca Budha dengan sikap tangan Dharmachakra mudra. Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Sekilas Penemuan Borobudur

Tidak diketahui secara pasti berapa lama Candi Borobudur digunakan, atau kapan berhenti berfungsi sebagai bangunan suci untuk memuliakan kebesaran dinasti kerajaan yang berkuasa dan, pada saat yang sama, sebagai pusat ziarah agama Budha.

Asumsi umum adalah bahwa Candi Borobudur tidak digunakan lagi pada saat masyarakat mulai masuk Islam pada abad kelima belas. Tetapi hal ini sangatah masuk akal bahwa bangunan candi di Jawa Tengah telah ditinggalkan awal abad ke-10 ketika kepentingan sejarah bergeser ke Jawa Timur. Jika demikian, Candi Borobudur dibiarkan nasibnya beberapa abad lebih awal dari bangunan candi Jawa Timur. Terlepas dari waktu yang tepat di mana candi kehilangan signifikansinya dalam masyarakat yang berubah, mereka harus ditemukan kembali satu per satu sebelum pengetahuan kita saat ini tentang mereka mulai terakumulasi. Tapi mereka tidak pernah benar-benar hilang dari ingatan orang-orang.

Dalam beberapa hal, masa lalu yang gemilang dan bangunan candi yang menyaksikannya akan dikenang, dan terutama oleh penduduk desa yang tinggal di dekatnya. Candi masih berperan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perubahan kepercayaan tentu saja menyebabkan perubahan bertahap dalam sikap mereka terhadap monumen, terbukti dari cara orang mengabaikannya.

Namun, ketidakpedulian bukanlah penjelasan utama, akan tetapi diduga terdapat kepercayaan takhayul secara bertahap menghubungkan reruntuhan yang tidak jelas dengan nasib buruk dan kesengsaraan. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Pulau Jawa) Bukit Borobudur terbukti menimpa siapa saja yang datang dan mengunjungi candi ini yang terjadi pada tahun 1709 M. Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram) menceritakan kemalangan berada mengunjungi candi pada tahun 1757, tentang patung di salah satu stupa berlubang.

Antara 1811 dan 1816 Jawa berada di bawah kekuasaan Inggris. Wakil Pemerintah Inggris adalah Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, yang sangat tertarik dengan masa lalu Jawa. Pada tahun 1814, dalam sebuah perjalanan inspeksi di Semarang, ia diberitahu tentang keberadaan sebuah monumen besar, yang disebut Candi Borobudur, di desa Bumisegoro dekat Magelang. Dia tidak bisa datang dan mengirim Cornelius, seorang perwira insinyur Belanda yang mempumyai keahlian berpengalaman dalam menjelajahi barang antik di Jawa, untuk menyelidiki.

Cornelius mempekerjakan sekitar 200 orang untuk membersihkan dengan menebang pohon, membakar semak-semak, dan menggali tanah di mana lokasi monumen itu dibangun yang sudah lama terkubur. Dalam dua bulan ia telah menyelesaikan pekerjaannya, meski banyak beberapa bagian dinding galeri yang belum bisa digali karena bahaya runtuh. Dia melengkapi laporannya dengan berbagai gambar.

Dua jilid History of Java-nya yang terbit pada tahun 1817 hanya mencurahkan beberapa kalimat untuk monumen itu. Bab tentang barang antik sangat singkat, karena ia bermaksud untuk menerbitkan secara terpisah 'Account of the Antiquities of Java'. Ini sebenarnya tidak pernah muncul. Namun, Raffles tetap sangat berterima kasih karena telah menyelamatkan Candi Borobudur dari pelupaan, dan telah membuatnya diketahui oleh banyak orang.

Administrator Belanda di wilayah Kedu, Hartmann tertentu, adalah salah satu penguasa yang memberi perhatian khusus pada Candi Borobudur. Dia mengatur pemindahan lebih lanjut dari puing-puing dan pembersihan galeri, sehingga, pada tahun 1835, seluruh monumen dibebaskan dari penutup terakhirnya yang rusak. Sangat disayangkan Hartmann tidak menulis laporan tentang kegiatannya, sehingga apa yang diketahui tentang mereka hanya dapat diperoleh dari laporan selanjutnya. Sangat disesalkan bahwa cerita tentang dugaan penemuan batu Buddha di stupa utama telah menyebabkan perselisihan tanpa akhir.

Pada tahun 1842 Hartmann melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap interior kubah besar. Apa yang sebenarnya dia temukan tidak diketahui, tetapi laporan Wilsen tahun 1853 menyebutkan seorang Buddha seukuran salah satu dari ratusan patung Borobudur lainnya. Tidak ada patung seperti itu yang pernah disebutkan oleh para penyelidik sebelum tahun 1842. Cerita beredar bahwa patung itu ditempatkan di sana oleh pejabat distrik asli untuk memuaskan administrator Belanda. Hartmann tertarik pada Candi Borobudur secara pribadi daripada sebagai pejabat pemerintah, tetapi Wilsen adalah seorang perwira insinyur yang dikirim secara resmi oleh Pemerintah untuk membuat gambar. detail arsitektur dan reliefnya.

Sementara itu Pemerintah menunjuk Brumund untuk membuat deskripsi rinci, yang diselesaikannya pada tahun 1856. Brumund mengira penelitiannya akan diterbitkan dan dilengkapi dengan gambar-gambar Wilsen. Pemerintah bermaksud agar publikasi resmi didasarkan pada artikel dan gambar Wilsen, dengan studi Brumund sebagai suplemen. Pemerintah kemudian harus menunjuk sarjana lain dan memilih Leemans yang, pada tahun 1859, diminta untuk menggunakan manuskrip Wilsen dan Brumund dan menyusun monografi yang akan dilengkapi dengan gambar Wilsen. Tetapi ketika monografi itu akhirnya muncul di media cetak pada tahun 1873 (diikuti dengan terjemahan bahasa Prancis pada tahun 1874), semua bahan yang tersedia di Candi Borobudur telah tersedia untuk umum. Informasi diberikan pada setiap detail monumen, dan Candi Borobudur tidak akan pernah lagi terlupakan.

Stupa Borobudur sebem dipugar
Menurut sejarah, candi Borobudur ditinggalkan dan terkubur selama beberapa abad. Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Asal Nama Borobudur

Bangunan - bangunan kuno yang berasal dari periode sejarah Indonesia biasanya disebut dengan candi, terlepas dari apa tujuan awalnya. Bangunan tersebut tidak hanya mencakup dalam candi, akan tetapi juga bangunan seperti gerbang dan petirtaan.

Dalam penjelasan kebanyakan candi nama aslinya tidak banyak diketahui. Seringkali orang-orang dari desa-desa terdekat bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka. Banyak dari warisan budaya ini harus ditemukan kembali. Tidak heran jika candi hanya disebut oleh desa terdekat. Beberapa, bagaimanapun, telah mempertahankan nama mereka; dalam kasus seperti itu desa ini dinamai menurut nama candi. Sangat sulit untuk mengetahui apakah Candi Borobudur disebut dengan nama desa sebaliknya.

Dalam sejarah Jawa abad kedelapan belas disebutkan tentang bukit yang disebut Borobudur. Sir Thomas Stamford Raffles 'penemu Borobudur', diceritakan pada tahun 1814 tentang keberadaan suatu bangunan candi yang bernama Borobudur di desa Bumisegoro. Oleh karena itu, sepertinya Borobudur, bagaimanapun juga, adalah nama aslinya. Akan tetapi belum ada dokumen kuno yang ditemukan yang menyebutkan tentang nama ini.

Salah satu manuskrip Jawa Kuno tahun 1365 M, yang disebut Nagarakrtagama dan disusun oleh Mpu Prapancha, menyebutkan 'Budur' sebagai tempat suci Buddha dari sekte Vajradhara. Bukan tidak mungkin 'Budur' ini diasosiasikan dengan Borobudur, tetapi kurangnya informasi lebih lanjut membuat identifikasi yang pasti sulit. Sebuah desa di sekitarnya masih menyandang nama 'Bore' - mungkin melestarikan bagian pertama dari nama aslinya dari monumen.

Nama kata 'Boro-Budur' sulit dijelaskan. Menganggapnya sebagai 'tempat suci Budur di desa Boro' akan bertentangan dengan aturan bahasa Jawa, yang mengharuskan kata-kata itu sebaliknya (Budur Boro, bukan Boro Budur). Raffles menyarankan bahwa 'Budur' mungkin sesuai dengan kata tersebut. kata Jawa modern 'Buda' (kuno); Borobudur dengan demikian berarti 'Boro kuno'. Dia juga mengajukan hipotesis lain: Boro berarti 'agung', dan Budur berarti 'Buddha', yaitu monumen itu hanya disebut setelah Buddha Agung. Sebenarnya, 'boro' seharusnya lebih berarti 'terhormat', yang berasal dari bahasa Jawa Kuno 'bhara', sebuah awalan kehormatan, sehingga 'tempat suci Buddha yang terhormat' akan lebih tepat. Namun, 'boro' mungkin juga mewakili Kata Lama Kata Jawa 'bhara', yang berarti 'banyak' (kata Jawa modern 'para', menunjukkan jamak), sehingga interpretasi 'Borobudur' sebagai tempat suci 'Banyak Buddha memiliki klaim yang sama.

Keberatan utama terhadap interpretasi di atas adalah bahwa 'Boro Kuno' tidak relevan, dan 'Buddha Agung', 'Buddha yang Terhormat' dan 'Banyak Buddha' tidak memberikan penjelasan tentang perubahan 'Buddha' menjadi 'Budur'. Memang, tidak ada cara untuk membenarkannya. Penafsiran yang lebih masuk akal dikemukakan oleh almarhum Poerbatjaraka. Dia berasumsi bahwa kata 'boro' adalah singkatan dari 'biara', yang berarti 'biara'. Borobudur kemudian akan berarti 'Vihara Budur'. Memang, fondasi biara digali selama penggalian arkeologi yang dilakukan di dataran tinggi sebelah barat monumen pada tahun 1952. Seperti nama 'Budur' disebutkan dalam Nagarakrtagama, interpretasi Poerbatjaraka mungkin tepat. Tetapi jika demikian, bagaimana biara itu berdiri sebagai monumen di benak orang-orang. Semua penjelasan di atas didasarkan pada interpretasi kata-kata penyusun 'Boro' dan 'Budur'. De Casparis mencoba menelusuri kedua kata itu kembali ke asal usulnya. Dia menunjukkan bahwa nama 'Bhumisambharabhudhara', yang menunjukkan tempat suci untuk pemujaan leluhur, ditemukan pada dua prasasti batu yang berasal dari tahun 842 M. Setelah analisis menyeluruh dari aspek keagamaan dan rekonstruksi rinci geografi daerah di mana peristiwa sejarah terjadi. , ia menyimpulkan bahwa tempat suci Bhumisambhlrabhtidhara tidak bisa lain dari Borobudur itu, dan bahwa perubahan nama yang sekarang terjadi melalui penyederhanaan normal yang terjadi dalam bahasa lisan.

Meskipun banyak ahli sejarah keberatan dengan penjelasan De Casparis, belum ada solusi yang lebih masuk akal yang diajukan. Moens menyarankan, bahwa pada analogi Bharasiwa India Selatan, yang menunjukkan pengikut setia Dewa Hindu Siva - monumen kami dikaitkan dengan 'Bharabuddha' atau penegak Buddha yang bersemangat. Nama 'Borobudur' kemudian akan menjadi kontraksi dari 'Bharabuddha' dengan kata Tamil ur untuk 'kota' ditambahkan, sehingga berarti 'Kota para penegak Buddha'. Namun, 'Bharabuddha' hanyalah rekonstruksi hipotetis, tanpa dukungan dokumenter atau bukti, dan teori Moens belum diterima secara umum.

Candi Borobudur
Pemandangan alami dari Bukit Dagi sebelah barat laut dengan latar belakang perbukitan menoreh. Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Dalam bahasa Indonesia, bangunan keagamaan kuno disebut candi. Istilah candi juga banyak digunakan untuk menyebut semua bangunan kuno yang berasal dari masa Hindu-Budha di Nusantara, seperti gapura dan petirtaan (kolam dan pancuran).

Asal usul nama Borobudur tidak jelas, meskipun nama asli sebagian besar candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku 'Sejarah Pulau Jawa' karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis tentang sebuah monumen bernama Borobudur, tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya teks Jawa kuno yang memberi petunjuk tentang keberadaan bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk pada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365.

nama Borobudur berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata “bara” berasal dari kata “vihara”, dalam bahasa sansekerta berarti “candi”. Kata "beduhur" berarti "tinggi", dalam bahasa Bali.

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore ( Boro ), kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".

Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung. Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur.

Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga kurang lebih sekitar tahun 824 M. Bangunan itu diselesaikan pada masa putrinya, yaitu Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çri Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamulan, bangunan suci yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah nama Kamulan berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan para leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhumi Sambhara Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli dari Borobudur.

Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut. Stupa dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad abad bangunan suci ini sempat terlupakan. Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.

Undakan tangga naik
Tangga naik melalui gapura dengan dekorasi Kala Makara. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Lingkungan Alam Borobudur

Bangunan suci candi - candi Budha, sebagai bangunan keagamaan yang terletak di dataran Kedu banyak didirikan di sekitar Candi Borobudur. Tempat-tempat suci Hindu dan Budha, bisa dikatakan, dikemas bersama dalam radius kurang dari tiga kilometer dari titik pertemuan dua sungai Kedu. Dari barat ke timur, bangunan suci Budha yang utama di daerah ini adalah Candi Borobudur, Candi Pawon, Candi Mendut, dan kompleks Candi Ngawen yang terdiri dari lima bangunan. Tiga candi utama yang pertama diasumsikan telah membentuk satu komplek, meskipun dibangun dalam jarak yang cukup jauh antara satu dengan lainnya, garis lurus yang ditarik dari Candi Borobudur ke Candi Mendut melalui Candi Pawon menunjukkan satu kesatuan diantara tiga bangunan ini. Tata letak seperti ini, tidak ditemukan di Borobudur.

Candi Mendut berjarak sekitar tiga kilometer dari Candi Borobudur, sedangkan Candi Pawon berjarak sekitar setengahnya. Menurut tradisi lisan, tiga bangunan suci ini pernah dihubungkan oleh jalur prosesi jalan beralas batu, diapit oleh pagar langkan dengan dekorasi gambar. Beberapa batu pahat yang ditemukan diduga menunjukkan adanya hubungan dalam komposisi satu kesatuan dan telah menimbulkan banyak spekulasi tentang hubungan antara ketiga candi ini yakni; Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut.

Candi Borobudur tidak memiliki ruang dalam, tidak ada tempat di mana umat bisa beribadah. Kemungkinan besar itu adalah tempat ziarah, di mana umat Budha dapat mencari Kebijaksanaan Tertinggi. Lorong-lorong di sekitar bangunan, yang berturut-turut naik ke teras paling atas, jelas dimaksudkan untuk mengelilingi ritual. Dipandu oleh panduan cerita relief, umat Budha berjalan dari satu teras ke teras lain dalam perjalanan kontemplasi hening. Candi Mendut, di sisi lain, tampaknya menjadi tempat untuk pemujaan. Candi Pawon yang sangat kecil juga memiliki suatu ruang dalam, akan tetapi tidak mengungkapkan dewa apa yang mungkin menjadi objek pemujaan.

Garis Penghubung
Penghubung tiga candi untuk prosesi, antara Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Asumsi bahwa umat Budha dalam ziarah harus melewati Candi Pawon dalam perjalanannya dari Candi Mendut ke Candi Borobudur di sepanjang jalur prosesi beralas batu mungkin menunjukkan bahwa Candi Pawon adalah semacam pusat dalam suatu perjalanan panjang. Setelah disucikan melalui upacara - upacara ibadah wajib di Candi Mendut, Candi Pawon mempersilahkannya untuk berhenti sejenak dan merenung sebelum melanjutkan perjalanan ziarah ke Candi Borobudur dimana beberapa rangkaian perjalanan telah menanti.

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m diatas permukaan laut dan 15 m di atas dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20, dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Kepercayaan populer tentang adanya jalur prosesi tidak sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan oleh Nieuwenkamp pada tahun 1931, bahwa dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau besar. Dia mengemukakan bahwa Chandi Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengambang di permukaan danau, teratai mitos dari mana Buddha masa depan akan lahir. Ide ini didasarkan pada penemuannya bahwa bentuk dan denah monumen menggambarkan roset teratai dan kelopak bunga di sekitar petak bunga melingkar, sementara posisinya di atas bukit, sehingga menunjukkan bentuk teratai mengambang di udara.

Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Budha. Seringkali digenggam oleh Bodhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Budha atau sebagai lapik stupa. Ragam hias baik yang dekoratif ataupun cerita yang terpahat pada arsitektur candi bukan dipahat tanpa alasan, masing-masing komponen memiliki karakter dengan fungsi yang berbeda namun terangkai dalam menggambarkan jalan menuju kebuddhaan, pencerahan, dan pembebasan samsara.


Ilustrasi Danau Borobudur
Seni arsitektur Borobudur menyerupai bunga teratai didalam naskah keagamaan Budha. Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana, yaitu aliran Buddha yang menyebar ke Asia Timur. Tiga pelataran melingkar yang ada di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai. Dalam hal ini teori Nieuwenkamp terdengar begitu luar biasa dan fantastis, tetapi banyak menuai bantahan dari para arkeolog.

Pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa daerah kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau kuno. Sementara itu pakar geologi mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur, yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp.

Deretan stupa teras atas lingkaran
Selama berabad abad terlupakan. Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu di sekeliling Borobudur adalah danau purba. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Bentang Alam Borobudur

Relief cerita adalah sebuah transfer naskah cerita ke dalam suatu bentuk seni yang konkrit. Karena hal ini dimaksudkan sebagai penggambaran sebuah cerita, maka di dalam relief terdapat susunan bentuk - bentuk tertentu oleh si seniman sedapat mungkin diusahakan mencerminkan keadaan dan peristiwa yang terjadi di dalam cerita yang bersangkutan. Oleh karena itu di dalam relief, munculnya sosok tubuh tokoh - tokoh yang disebut dalam cerita beserta bentuk - bentuk tertentu (rumah, pohon, sungai, dan sebagainya) adalah sebagai petunjuk tentang situasi dan kondisi tempat dimana terjadinya sebuah peristiwa adalah yang diharapkan.

Bentang Alam Pedesaan
Lansekap Pedesaan Jawa Kuno. Sumber: Balai Konservasi Borobudur. Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Lansekap pedesaan pada masa Jawa Kuno mempunyai kriteria dengan atribut yang meliputi daerah-daerah seperti gunung dan bukit, lingkungan pertanian, permukiman dan rumah tradisional, pembuatan tembikar, dan bekas danau purba.

Menjelaskan relief-relief dengan arti dan makna yang terdapat di Candi Borobudur yang berhubungan dengan apa yang dijelaskan dalam bentuk yang berupa prasasti dan naskah kesusastraan pada masa Jawa Kuna dapat dikategorikan dalam beberapa hal yaitu meliputi rekonstruksi proses budaya, rekonstruksi sejarah budaya, dan rekonstruksi cara hidup dalam tempat savah, kbuan, tgal, gaga, renek. 

Mempunyai atribut lansekap pedesaan Jawa Kuno meliputi beberapa cakupan yang lebih kepada daerah tempat berada pada lingkungan pertanian / pengelolaan lahan. Pada candi Borobudur terdapat panil relief cerita mengenai relief pertanian, pada dinding Candi Borobudur.

Lingkungan pertanian pada masa Jawa Kuna meliputi lingkungan persawahan seperti: Sawah, Sawah Pasang Surut, Sawah tadah hujan, Ladang / tegalan, Kebun dan Hutan. Dalam lingkungan pertanian Jawa Kuna yang berupa lingkungan sawah dijelaskan dalam pengelolaanya bahwa menyebutkan sawah oleh masyarakat Jawa Kuna pada abad IX-X M tidak hanya dikelola untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga untuk kebutuhan menghidupi suatu bangunan suci yang ditetapkan sebagai sima. Penetapan sawah tersebut sebagai sima adalah karena, sawah mampu memberikan kehidupan dan pendapatan kepada suatu daerah.

Menjelaskan makanan pokok pada masa Jawa Kuno disebutkan dalam lingkungan pertanian pada masa itu lebih pada pengolahan padi sebagai bahan makanan pokok. Pada saat itu masyarakat Jawa Kuna abad IX-X M telah mengenal cara-cara mengolah beras menjadi nasi, antara lain dengan cara di-dang, di-tim, atau di-liwet. Skul dinyun adalah nasi yang diliwet dengan periuk, dyun adalah belanga atau kuali besar (periuk) yang terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk memasak sayur atau menanak nasi.

Dalam pengolahan makanan dan pembuatan minuman pada masa Jawa Kuno meliputi beberapa bentuk. Pengolahan makanan seperti pada olahan Dodol. Dodol adalah salah satu jenis makanan yang dikenal oleh masyarakat Jawa Kuna abad IX-X M, beberapa macam olahan adalah yang disebut dwa-dwal atau dodol. Olahan makanan ini disebutkan dalam Ramayana Jawa Kuna menurut penjelasan Poerbatjaraka.

Dalam pengolahan minuman, di contohkan yaitu pengolahan tanaman tebu yang oleh masyarakat Jawa Kuna juga dikenal sebagai bahan dasar untuk minuman beralkohol yang disebut tvak, siddhū. Siddhū atau sidhu adalah minuman yang disajikan pada upacara penetapan sima, antara lain disebut dalam Prasasti Sangguran tahun 928 M.

Penggambaran relief yang terpahat pada dinding Borobudur salah satunya adalah mendirikan bangunan rumah pedesaan dengan bahan dari kayu. Relif Karmawibhangga adalah yang menyimpan cerita pembangunan rumah pedesaan pada masa Jawa Kuno. Berdasarkan penjelasan dalam prasasti, orang yang berprofesi membuat bangunan, di antaranya, undahagi, undahagi dadap, kalang, tuha kalang.

Rumah-rumah pedesaan masyarakat Borobudur pada masa Jawa Kuno disebutkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang berada pada tempat pemukiman masyarakat tradisional dan mempunyai bentuk rumah-rumah tradisional. Dengan kehidupan dalam lingkungan pemukiman masyarakat pembuat tembikar / gerabah.

Pemukiman masyarakat Borobudur pada masa Jawa Kuna, periode Mataram VII–X Masehi disebutkan dalam Prasasti Rukam berangka tahun 907 masehi. Menjelaskan secara umum aktifitas tradisional masyarakat Jawa Kuno adalah pekerjaan pembuatan tembikar / gerabah. Aktifitas ini diceritakan dalam relief yang dipahat pada dinding Candi Borobudur.

Chandi Borobudur
Dibangun abad ke-9 masa pemerintahan Wangsa Syailendra, dirancang dengan arsitektur Budha Jawa, perpaduan budaya pemujaan leluhur dan konsep agama Budha. Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.


Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide.

Selamat Datang di Chandi Borobudur
Cagar budaya peninggalan abad ke-9 Wangsa Syailendra. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.


Chandi Borobudur
Berasal dari kata 'biara - bedudur', candi Budha Mahayana berbentuk piramida berundak, terdiri atas enam teras bujur sangkar diatasnya tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi oleh 2.672 panel relief dan terdapat 504 arca Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Chandi Borobudur
Dibangun abad ke-9 oleh Wangsa Sailendra, dirancang dengan arsitektur Budha Jawa, terdiri atas enam teras bujur sangkar dan diatasnya tiga pelataran melingkar,  dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 arca Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.


Baca narasi dan materi lengkap tentang Candi Borobudur dengan berkunjung dan jadikan wisata Anda semakin menyenangkan, jelajahi lebih detail narasi tematik budaya Borobudur. Membaca lebih menyenangkan, untuk menggali narasi lebih detail dan membaca dalam bahasa Inggris memang menyenangkan dan juga terkesan sangat menarik untuk diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dan fleksibel, dapatkan bacaan detail di Welcome to Borobudur Temple, the fabric of life in the Buddhist culture. Jelajahi, kagumi keindahan seni rupa dalam gambar dan foto di PHOTO IMAGE BOROBUDUR.

Terletak Borobudur

Sejarah mencatat bahwa Candi Borobudur terletak tepat di atas bukit, dibangun di antara beberapa gunung dan perbukitan. Jika menghadap ke barat, Gunung Sundoro dan Sumbing terlihat. Di sebelah timur, Gunung Merbabu dan Merapi terlihat. Jika menghadap ke utara, sekitar 15 kilometer dari Borobudur terdapat Bukit Tidar, dan di selatan, berbatasan dengan Perbukitan Menoreh. Borobudur terletak di pertemuan dua sungai, Progo dan Elo, di sebelah timur Candi Borobudur dan Candi Pawon.

Deretan Stupa berlubang teras atas
Stupa utama terletak di tengah sebagai mahkotai dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang di dalamnya terdapat arca Budha duduk bersila. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Comments

Popular Posts