Menuju Sejarah Borobudur
Selamat datang di Borobudur, sangat senang dengan perjalanan yang akan mengunjungi kemegahan dan keindahan candi Borobudur, sebagai tujuan wisata utama di Indonesia. Bangunan ini merupakan bagian dari situs warisan budaya dunia sejak tahun 1991. Keramahan pemandu wisata, pada kesempatan yang menarik ini akan menyampaikan penjelasan Borobudur sebagai apresiasi untuk mempelajari dan mengagumi keindahan arsitektur dan seni rupa budaya leluhur.
Chandi Borobudur dan kawasannya merupakan situs Warisan Budaya Dunia yang memiliki nilai luhur dan sejarah bagi bangsa Indonesia, yang membuat semua mata tertuju pada kemegahan dan keindahan bangunan ini. Pemerintah telah menetapkan Borobudur dan kawasannya sebagai destinasi utama dan kunjungan wisata super prioritas. Pembukaan kembali untuk pariwisata menjadi kesempatan yang menarik untuk mempelajari narasi ini dalam wisata tematik Borobudur.
Wisata dan kunjungan saat ini dengan tujuan untuk mengenal Borobudur lebih dekat dalam belajar sejarah, mengagumi kemegahan dan keindahan nilai seni arsitektural, yang merupakan bentuk apresiasi dan ikut serta dalam mengenal, menjaga dan melindungi situs warisan budaya dunia Borobudur, yang ada di Indonesia.
Langkah Menuju Sejarah
Sejarah menyebutkan keberadaan awal mula pembangunan candi Borobudur sebagai bangunan suci umat Buddha, Borobudur digunakan sebagai tempat peribadatan, pemujaan dan prosesi keagamaan dengan tujuan bagi pemeluk agama Buddha untuk mencapai tingkat tertinggi adalah nirwana.
Tentang Chandi Borobudur
Keberadaan candi Borobudur sebagai bangunan suci agama Buddha dalam pembangunannya membutuhkan waktu kurang lebih 100 tahun, yang di selesaikan pada masa pemerintahan raja Samaratungga, dari wangsa Syailendra pada tahun 824 M. Kurun waktu antara tahun 760 dan 830 M, adalah masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah yang masih dipengaruhi oleh Kemaharajaan Sriwijaya.
Menurut catatan yang tertulis dalam prasasti yang ditemukan, menjelaskan tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun Chandi Borobudur. Referensi tentang siapa yang membangunnya atau apa tujuan yang dimaksudkan, mempunyai nilai sejarah yang berhubungan dengan dua wangsa yang berkuasa pada saat itu yaitu Wangsa Sanjaya yang berlatar belakang agama Hindhu dan Wangsa Syailendra dengan latar belakang agama Buddha.
Namun, seperti yang tertera dalam beberapa prasasti yang dipahatkan di batu tulis dengan penjelasan yang menyebutkan tentang raja-raja yang berkuasa pada saat itu dan tulisan yang tetdapat di atas relief pada kaki dasar (kaki tersembunyi) Borobudur memiliki fitur grafis yang mirip dengan yang ada dalam naskah atau dalam bentuk tulisan yang biasa digunakan dalam prasasti kerajaan-kerajaan antara abad kedelapan dan abad kesembilan.
![]() |
Sansekerta Sumber: Tehnik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto screenshot arisguide. |
Perbandingan antara jenis tulisan aksara yang tertulis di dinding relif Karmawibhangga dengan jenis tulisan aksara yang ada pada beberapa prasasti kerajaan abad ke–8 dan ke–9.
Kesimpulan yang jelas adalah bahwa Chandi Borobudur sangat mungkin didirikan sekitar tahun 800 M. Anggapan ini cukup sesuai dengan sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah Jawa Tengah pada khususnya. Pada kurun waktu antara tahun 750 - 850 disebutkan adalah masa keemasan Wangsa Syailendra. Pada saat itu menghasilkan banyak sejumlah besar monumen, yang ditemukan hampir di seluruh dataran dan lereng gunung di Jawa Tengah. Bangunan tempat - tempat suci Siva mendominasi di daerah pegunungan; daerah di dataran Kedu dan Prambanan, baik itu monumen Siwa dan Buddha didirikan berdekatan.
Nama Syailendra pertama kali muncul dalam prasasti batu tulis yang ditemukan di Sojomerto di daerah pesisir barat laut Jawa Tengah yang kemudian disebut prasasti Sojomerto. Prasasti Sojomerto tidak bertanggal, tetapi berdasarkan paleografis prasasti tersebut dapat dianggap berasal dari pertengahan abad ketujuh. Prasasti tertua - tidak hanya ditemukan di Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia - seperti yang ditemukan dalam prasasti Canggal, dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 732 M. Disebutkan prasasti ini dimaksudkan untuk memperingati berdirinya tempat suci Siva lingga di bukit Gunung Ukir, kurang lebih sekitar 10 km sebelah timur Chandi Borobudur.
Nama Sanjaya kemudian muncul sekali lagi dalam prasasti Mantyasih berangka tahun 907 M, ditemukan kurang lebih sekitar 15 km sebelah utara Chandi Borobudur, prasasti Mantyasih hanya berisi daftar tentang raja - raja sebelum Raja Balitung yang memerintah (yang mengeluarkan prasasti). Prasasti tersebut yang berisi daftar raja - raja yang memerintah, secara eksplisit dianggap berasal dari dinasti Syailendra, hal ini sebenarnya masih diragukan, bahwa Rakai Panangkaran sebenarnya adalah raja Syailendra yang membangun candi Tara di desa Kalasan. Wangsa Syailendra dikenal sebagai pengikut setia aliran Budha, tetapi wangsa Syailendra dalam prasasti Sojomerto disebutkan adalah beraliran Hindu. Dalam prasasti Mantyasih juga disebutkan beragama Hindu. Oleh karena itu dapat dijelaskankan bahwa raja-raja yang disebutkan didalam prasasti tersebut semuanya adalah pemeluk agama Hindu.
Menurut teori ini, Rakai Panangkaran adalah seorang raja dari wangsa Sanjaya yang berperan dalam pendirian kuil atau candi Budha Kalasan, sebenarnya hanyalah untuk memberikan sebidang tanah yang diperlukan dalam pembangunan candi, belum tentu seorang yang beragama Budha. Dalam hal ini agama tidak menjadi perbedaan dan konflik serius di Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin bisa saja bagi seorang raja Hindu berperan dan mendukung pendirian bangunan candi Budha, atau bagi seorang raja yang beragama Budha untuk melakukan hal yang sama sebaliknya.
Anggapan tentang hanya satu dinasti kerajaan, satu - satunya yang memerintah Jawa Tengah kala itu dari mulai abad kedelapan hingga awal abad kesepuluh secara langsung telah menghilangkan anggapan yang terkait mengenai asal usul wangsa Sailendra dan seberapa luas wilayah kekuasaan kerajaan di Jawa Tengah. Karena Laut Jawa merupakan jalur termudah menuju ke Jawa Tengah, yang mungkin diharapkan untuk dapat menetap dan berperan aktif di wilayah utara. Namun, ini sulit untuk dipastikan dengan fakta bahwa wangsa Sailendra muncul dalam sejarah berada di bagian selatan Jawa Tengah, sedangkan wangsa Sanyaya sebelumnya sebenarnya menguasai dan memiliki wilayah lebih jauh ke utara.
Peran yang dimainkan oleh orang Indonesia dalam proses ini tampaknya tidak hanya terbatas pada mengadopsi dan mencerna unsur-unsur impor India, tetapi juga melibatkan misi ke 'ibu negara'. Asumsi kontak terus menerus, atau setidaknya teratur, akan membantu menjelaskan munculnya kerajaan tertua di berbagai bagian negara. Namun, keterlibatan leluhur Jawa dalam silsilah raja yang memerintah, yang mengeluarkan dekrit, hanya dapat dianggap mencerminkan transisi kekuasaan yang mulus; karena tidak dapat dibayangkan bahwa kerajaan - kerajaan ini dapat muncul tanpa periode akulturasi yang cukup lama sebelumnya. Kenyataannya, dekrit - dekrit itu, yang disusun dalam bahasa Sanskerta yang sempurna, tidak akan masuk akal bagi orang - orang yang dituju kecuali jika mereka sudah dapat menghargai bahasa yang cukup asing ini, yang sekarang digunakan dalam dokumen-dokumen resmi.
Sejarah paling awal Indonesia ditandai dengan kebangkitan mendadak, dan akhir yang tiba - tiba, dari kerajaan-kerajaan tertua. Kerajaan Kutai di Kalimantan (abad kelima) dan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat (abad kelima), masing - masing memiliki dekrit kerajaan, yang dikeluarkan oleh satu raja. Keberadaan kerajaan Kanjuruhan di Jawa Timur diketahui dari satu dokumen (Prasasti Dinoyo tahun 760 M).
Aliran dokumen tertulis yang kurang lebih berkelanjutan tersedia di Jawa Tengah, dimulai dengan prasasti Changgal tahun 732 M dan diakhiri dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Balitung pada awal abad kesepuluh. Dari pertengahan abad ke-10 hingga akhir abad ke-15 dikenal sebagai 'periode Jawa Timur'. Meskipun Sumatera dan Bali juga berkontribusi dalam pembuatan sejarah Indonesia, sebagian besar peristiwanya adalah dokumenter tercantum dalam prasasti dan manuskrip Jawa Timur. Bangunan juga terkonsentrasi di Jawa Timur, sehingga 'Jawa Tengah' dan 'Jawa Timur' telah menjadi istilah yang diterima dalam berurusan dengan monumen dan patung dalam sastra.
Prasasti Sri Kahulunan Sumber: Tehnik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto screenshot arisguide. |
Berdasarkan prasasti Karang Tengah dan prasasti Sri Kahulunan tertulis bahwa "Bhumi Sambhara Budhara" dan "Kamulan" adalah bangunan candi Borobudur yang dibangun antara tahun 760 dan 830 M, pada masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah yang pada saat telah dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur kurang lebih menghabiskan waktu 75 - 100 tahun yang di selesaikan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825 M. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana, melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itu dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu.
Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan selesai sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan tahun 850 M.
Pembangunan candi Buddha—termasuk Borobudur—saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, yang disebutkan dalam Prasasti Kalasan tahun 778 Masehi.
Hal ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menjadi konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu, yaitu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa, dan kemudian disebutkan wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Hal ini dipahami, menurut sejarah, candi Borobudur tidak terurus dan dilupakan serta ditinggalkan oleh para penganut agama Buddha pada abad ke-14, dan ditemukan kembali pertama kali tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Borobudur ditinggalkan
Candi Borobudur mengalami keruntuhan, dilupakan dan telantar selama kurang lebih 800 tahun terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga waktu itu benar-benar berada didalam bukit. Alasan sesungguhnya dijelaskan bahwa meletusnya gunung Merapi merupakan bencana alam terbesar yang menjadi penyebab mengapa bangunan candi Borobudur ditinggalkan, meskipun sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak dipergunakan lagi menjadi pusat ziarah keagamaan umat Buddha.
Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur".
Selain itu Soekmono (1976) juga memberikan penjelasan tentang bangunan ini bahwa candi Borobudur mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15. Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan.
Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang menimpa siapa saja yang datang dan mengunjungi situs ini. Meskipun secara ilmiah, mungkin situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan Borobudur
Tidak diketahui secara pasti berapa lama Chandi Borobudur digunakan, atau kapan berhenti berfungsi sebagai monumen untuk memuliakan kebesaran dinasti kerajaan yang berkuasa dan, pada saat yang sama, sebagai pusat ziarah agama Budha.
Asumsi umum adalah bahwa chandi Borobudur tidak digunakan lagi pada saat masyarakat mulai masuk Islam pada abad kelima belas. Tetapi hal ini sangatah masuk akal bahwa monumen-monumen di Jawa Tengah telah ditinggalkan pada awal abad ke-10 ketika kepentingan sejarah bergeser ke Jawa Timur. Jika demikian, Chandi Borobudur dibiarkan nasibnya beberapa abad lebih awal dari Monumen Jawa Timur. Terlepas dari waktu yang tepat di mana chandi kehilangan signifikansinya dalam masyarakat yang berubah, mereka harus ditemukan kembali satu per satu sebelum pengetahuan kita saat ini tentang mereka mulai terakumulasi. Tapi mereka tidak pernah benar-benar hilang dari ingatan orang-orang.
Dalam beberapa hal, masa lalu yang gemilang dan monumen-monumen yang menyaksikannya dikenang, dan terutama oleh penduduk desa yang tinggal di dekatnya. Chandi masih berperan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perubahan kepercayaan tentu saja menyebabkan perubahan bertahap dalam sikap mereka terhadap monumen, terbukti dari cara orang mengabaikannya. Namun, ketidakpedulian bukanlah penjelasan utama.
Kepercayaan tentang takhayul secara umum menghubungkan reruntuhan yang tidak jelas dengan nasib buruk dan kesengsaraan. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Pulau Jawa) Bukit Borobudur terbukti terdapat kemalangan yang terjadi pada tahun 1709 M. Menurut Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram) menceritakan nasib buruk pada tahun 1757. Terlepas dari pembatasan yang berlaku untuk mengunjungi Chandi Borobudur, yaitu patung di salah satu stupa berlubang. Kemudian pada tahun 1814 Chandi Borobudur muncul, secara nyata dan kiasan, dari masa lalunya yang kelam.
Antara 1811 dan 1816 Jawa berada di bawah kekuasaan Inggris. Wakil Pemerintah Inggris adalah Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, yang sangat tertarik dengan masa lalu Jawa. Pada tahun 1814, dalam sebuah perjalanan inspeksi di Semarang, ia diberitahu tentang keberadaan sebuah monumen besar, yang disebut Chandi Borobudur, di desa Bumisegoro dekat Magelang. Dia tidak bisa datang dan mengirim Cornelius, seorang perwira insinyur Belanda yang berpengalaman dalam menjelajahi barang antik di Jawa, untuk menyelidiki.
Cornelius mempekerjakan sekitar 200 penduduk desa untuk menebang pohon, membakar semak-semak, dan menggali tanah dan sampah di mana monumen itu dibangun. sudah lama terkubur. Dalam dua bulan ia telah menyelesaikan pekerjaannya, meski banyak bagian galeri yang belum bisa digali karena bahaya runtuh. Dia melengkapi laporannya dengan berbagai gambar.
Dua jilid History of Java-nya yang terbit pada tahun 1817 hanya mencurahkan beberapa kalimat untuk monumen itu. Bab tentang barang antik sangat singkat, karena ia bermaksud untuk menerbitkan secara terpisah 'Account of the Antiquities of Java'. Ini sebenarnya tidak pernah muncul. Namun, Raffles tetap sangat berterima kasih karena telah menyelamatkan Chandi Borobudur dari pelupaan, dan telah membuatnya diketahui oleh banyak orang.
Administrator Belanda di wilayah Kedu, Hartmann, adalah salah satu penguasa yang memberi perhatian khusus pada Chandi Borobudur. Dia mengatur pemindahan lebih lanjut dari puing-puing dan pembersihan galeri, sehingga, pada tahun 1835, seluruh monumen dibebaskan dari penutup terakhirnya yang rusak. Sangat disayangkan Hartmann tidak menulis laporan tentang kegiatannya, sehingga apa yang diketahui tentang mereka hanya dapat diperoleh dari laporan selanjutnya. Sangat disesalkan bahwa cerita tentang dugaan penemuan batu Buddha di stupa utama telah menyebabkan perselisihan tanpa akhir.
Pada tahun 1842 Hartmann melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap interior kubah besar. Apa yang sebenarnya dia temukan tidak diketahui, tetapi laporan Wilsen tahun 1853 menyebutkan seorang Buddha seukuran salah satu dari ratusan patung Borobudur lainnya. Tidak ada patung seperti itu yang pernah disebutkan oleh para penyelidik sebelum tahun 1842. Cerita beredar bahwa patung itu ditempatkan di sana oleh pejabat distrik asli untuk memuaskan administrator Belanda. Hartmann tertarik pada Chandi Borobudur secara pribadi daripada sebagai pejabat pemerintah, tetapi Wilsen adalah seorang perwira insinyur yang dikirim secara resmi oleh Pemerintah untuk membuat gambar. detail arsitektur dan reliefnya.
Sementara itu Pemerintah menunjuk Brumund untuk membuat deskripsi rinci, yang diselesaikannya pada tahun 1856. Brumund mengira penelitiannya akan diterbitkan dan dilengkapi dengan gambar-gambar Wilsen. Pemerintah bermaksud agar publikasi resmi didasarkan pada artikel dan gambar Wilsen, dengan studi Brumund sebagai suplemen. Pemerintah kemudian harus menunjuk sarjana lain dan memilih Leemans yang, pada tahun 1859, diminta untuk menggunakan manuskrip Wilsen dan Brumund dan menyusun monografi yang akan dilengkapi dengan gambar Wilsen. Tetapi ketika monografi itu akhirnya muncul di media cetak pada tahun 1873 (diikuti dengan terjemahan bahasa Prancis pada tahun 1874), semua bahan yang tersedia di Candi Borobudur telah tersedia untuk umum. Informasi diberikan pada setiap detail monumen, dan Chandi Borobudur tidak akan pernah lagi terlupakan.
Sumber: Tehnik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide.
Mendapatkan lebih banyak narasi dan materi tentang Chandi Borobudur, membaca lebih menyenangkan jelajahi narasi lebih detil dalam KEBUDAYAAN BOROBUDUR - BELAJAR DENGAN PEMANDU WISATA.
Baca narasi dan materi lengkap tentang Chandi Borobudur dengan berkunjung dan jadikan wisata Anda semakin menyenangkan, jelajahi lebih detail narasi tematik budaya Borobudur bersama Pamong Carita. Membaca menjadi lebih menyenangkan, menggali narasi lebih detail dan membaca dalam bahasa Inggris memang menyenangkan dan juga terkesan sangat menarik untuk diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dan fleksibel, dapatkan bacaan detail di Welcome to Borobudur Temple, the fabric of life in the Buddhist culture. Jelajahi, kagumi keindahan seni rupa dalam gambar dan foto di PHOTO IMAGE BOROBUDUR.
Sangat menyenangkan dalam perjalanan bait suci bersama saya.
Comments
Post a Comment