Menelusuri Sekilas Prasasti Borobudur, Narasi Jawa Kuno


Borobudur merupakan salah satu situs warisan budaya yang ada di Indonesia, kemegahan dan keindahan arsitektur yang luar biasa membuat semua mata terkesimaPemerintah menetapkan Candi Borobudur dan kawasannya sebagai cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tersendiri sebagai daya tarik wisata utama, dan menjadi satu destinasi wisata prioritas bagi pengunjung nusantara dan juga mancanegara.

Menjelajahi Borobudur merupakan suatu langkah yang tepat untuk memahami secara mendalam tentang wawasan dan nilai-nilai budaya yang terdapat pada bangunan ini dengan lebih baik. Mengenal Borobudur dan sekitarnya akan menjadi kesempatan yang menarik untuk menelusuri secara detail sejarah, filosofi, dan makna simbolis yang terkandung dalam relief serta teknik arsitektur Borobudur dengan jelas.

Candi Borobudur dan sekitarnya menarik minat untuk memperdalam pengetahuan tentang sejarah, budaya, dan seni arsitektur bangunan ini, sebagai apresiasi dan partisipasi dalam mendukung upaya pelestarian warisan budaya. Menggali budaya leluhur melalui prasasti yang berkaitan dengan pembangunan Candi Borobudur dapat memberikan wawasan tentang bagaimana bangunan ini menjadi pusat ziarah dalam budaya Budha karena nilai spiritualnya yang tinggi.

Borobudur atau Barabudur, adalah candi Budha Mahayana, menyebutkan nama Borobudur, berasal dari dua kata yaitu kata 'bara', yang berasal dari kata 'biara', artinya tempat pemujaan agama Budha atau candi, dan kata 'budur' berasal dari bahasa Bali 'beduhur', yang berarti 'di atas' atau 'bukit'. Kemudian arti kata 'biara dan beduhur' berubah menjadi BaraBudur, dan karena pergeseran bunyi menjadi Borobudur yang berarti candi atau biara di atas bukit.

Candi Borobudur dibangun pada abad ke-9 pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra, yang dirancang dengan bentuk arsitektur Budha Jawa, yakni perpaduan kebudayaan pemujaan leluhur asli Indonesia dan konsep agama Budha untuk mencapai Nirwana. Bangunan ini merupakan candi Budha Mahayana yang terdiri atas enam teras bujur sangkar, dan tiga teras melingkar, serta terdapat stupa terbesar di tengahnya yang dikelilingi oleh 72 stupa berterawang, dihiasi oleh 2.672 panel relief dan 504 arca Budha.

Aksara/tulisan yang tertulis pada prasasti kerajaan.
Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Prasasti Masa Jawa Kuno

Candi Borobudur telah menjadi simbol kuat bagi masyarakat Indonesia, yakni sebagai saksi kejayaan di masa lalu. Prestasi estetis dan kepiawaian teknik arsitektur yang ditampilkan Borobudur serta ukurannya yang luar biasa, merupakan bukti tentang kemegahan masa lalu, dan telah menginspirasi kebanggaan bangsa Indonesia.

Sejarah menyebutkan Candi Borobudur merupakan bangunan candi terbesar di Indonesia, dan banyak sejarawan mengemukakan teori - teori tentang sejarah peradaban, kebudayaan dan perkembangan Borobudur terutama pada masa Hindu dan Budha. Candi Borobudur merupakan bangunan peninggalan Kerajaan Mataram yang memerintah Jawa pada abad VIII – X Masehi, dibangun oleh Samaratungga pada masa kejayaan pemerintahan Wangsa Syailendra, kurun waktu tahun 782 – 812 Masehi. Candi ini merupakan bangunan suci yang berlatar belakang agama Budha Mahayana, sebagai tempat peribadatan dan pemujaan bagi umat Budha.

Candi Borobudur sebagai hasil karya masa lalu, merupakan bangunan suci umat Budha Mahayana, peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, keberadaan bangunan ini menurut narasi sejarah, dikenal dari beberapa prasasti yang pernah ditemukan. Prasasti - prasasti yang ditemukan umumnya digunakan sebagai sumber penjelasan sejarah tentang keberadaan suatu bangunan kuno atau candi.

Prasasti-prasasti Jawa Kuno banyak digunakan sebagai bahan penjelasan dan narasi sejarah secara umum. Prasasti-prasasti tersebut biasanya dipahat atau ditulis dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Beberapa prasasti diketahui ditemukan di daerah sekitar Borobudur. Terdapat jenis aksara atau tulisan yang terpahat pada dinding kaki candi, pada relief Karmawibhangga di bagian tenggara, menyerupai aksara atau tulisan yang umum digunakan dalam prasasti - prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.

Menjelaskan keberadaan prasasti Jawa Kuna yang ditemukan sekitar abad VI – X Masehi pada masa Mataram Kuno di Jawa Tengah, umumnya terbuat dari batu atau logam, dengan bahan yang digunakan awet dan tahan lama. Dalam menjelaskan prasasti atau batu tulis, pada dasarnya memiliki tiga bagian. Bagian pertama disebut Sambandha, yaitu bagian prasasti yang berisi tentang penanggalan dan pujian kepada dewa atau raja. Bagian kedua prasasti adalah isi, yaitu bagian utama prasasti yang memuat maksud dan tujuan prasasti, dan secara umum isi prasasti adalah tentang peresmian, persawahan atau tanah sima, dan juga hal-hal yang ada di dalam prasasti yang berhubungan dengan peradilan. Sedangkan bagian ketiga adalah penutup, dan bagian ini pada dasarnya membahas hal-hal seperti peringatan dengan berbagai kutukan, atau tentang memuji raja atau dewa. Melihat sejarah dan mengambil prasasti sebagai sumber utama penjelasan, terdapat prasasti yang ditemukan pada masa Mataram Kuno, kebanyakan terbuat dari batu dan umumnya ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Beberapa di antaranya ditulis dengan huruf Palawa dan Melayu Kuno.

Berdasarkan dokumen sejarah prasasti di Jawa pada masa Mataram Kuno ditemukan beberapa prasasti, salah satunya adalah prasasti Rukam. Prasasti ini berisi tentang pemberian perintah dengan menyebutkan bahwa desa Rukam, merupakan bagian dari desa wilayah Dalam yang telah musnah dan rusak karena bahaya besar, adalah desa yang merupakan bagian dari tanah Perdikan yang disisihkan, dan diberikan kepada suatu bangunan suci di daerah itu.

Dalam dokumen sejarah kerajaan Mataram kuno di Jawa disebutkan tentang prasasti Sojomerto. Prasasti Sojomerto dibuat kurang lebih pada akhir abad ke-7 Masehi, menyebutkan bahwa prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dan dalam bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini menjelaskan dan menyebutkan keberadaan Sisilah dari keluarga Dapunta Sailendra yang merupakan cikal bakal dinasti Sailendra yang berkuasa di Jawa, dan prasasti ini berangka tahun 860 Masehi. Raja Sangkhara mulai membangun banyak bangunan suci umat Budha, khususnya yang berada di kawasan Prambanan, yaitu Candi Kalasan pada tahun 778 M, Candi Sewu pada tahun 782 M, dan Candi Boko pada tahun 792 M, serta sebagai pondasi pembangunan Borobudur pada tahun 775 M.

Narasi sejarah Mataram Kuno di Jawa Tengah menyebutkan beberapa prasasti yang menjelaskan nama-nama tempat dan berdirinya bangunan suci, seperti prasasti Tukmas berangka tahun 700 Masehi. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa Muda, dan dalam bahasa Sansekerta. Ini berisi sumber air jernih berkilau seperti emas. Prasasti ini bercorak prasasti Hindu.

Prasasti Canggal menyebutkan prasasti yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan memiliki huruf Pallawa dan angka tahun dalam prasasti ini menyatakan tahun 654 Saka. Prasasti Canggal tahun 732 M berisi tentang pendirian Lingga oleh Rakai Mataram, Ratu Sanjaya sebagai raja pertama dalam kerajaan yang berpusat di Medang. Bercerita tentang kehidupan damai dan sejahtera di tanah Jawa pada masa itu.

Prasasti Canggal tahun 732 Masehi berisi penyebutan satu pulau besar bernama Jawa. Dijelaskan bahwa Pulau Jawa merupakan pulau yang tidak ada bandingannya dalam hal hasil pertaniannya, terutama hasil padi, dan kaya akan tambang emas yang hanya diakui sebagai tempat milik para dewa, dan pulau yang penuh dengan tempat suci. Sebagai tempat yang bertujuan untuk keselamatan, dan kemakmuran bagi dunia.

Salah satu episode sejarah Asia Tenggara kuno yang paling terkenal menyebutkan bagaimana raja Kamboja, Jayavarman II, kembali dari Jawa. Kemudian dalam usaha memerdekakan negaranya saat itu ia mendirikan sebuah tempat suci dengan nama Devaraja, setelah itu ia menyatakan dirinya sebagai Raja Dunia, tempat itu adalah Gunung Mahendra Parwata pada tahun 802 Masehi. Keterangan ini sesuai dengan prasasti Sdok Kok Thom, yang berangka tahun 1052 Masehi. Sejarah prasasti menjelaskan bahwa Jayavarman II adalah seorang pangeran yang tinggal di Kerajaan Sailendra di Jawa dan membawa kembali seni budaya Sailendra Jawa ke Kamboja. Dalam prasasti Sdok Kok Thom dan Vatt Samrong disebutkan bahwa sebagai upaya dalam mempertahankan wilayahnya dari serangan Raja Jawa, mereka melakukan ritual dan mengadakan pemujaan serta memperbaiki candi yang rusak.

Menjelaskan tentang Rakai Warak, menurut silsilah raja-raja Jawa dikenal dengan nama Samaratungga, putra dari Rakai Panunggalan yang merupakan raja keempat Kerajaan Mataram Kuno pada masa Jawa Tengah. Disebutkan Rakai Panunggalan memiliki dua putra, Samaratungga dan Balaputradewa. Dijelaskan dalam sisilah keluarga bahwa Samaratungga memiliki seorang anak bernama Pramodhawardhani yang kemudian terlibat perebutan kekuasaan dengan Balaputradewa, dan saat itu Pramodhawardhani telah menjadi permaisuri Rakai Pikatan.

Pengaruh kebudayaan India yang berada di Indonesia, umumnya dapat dilihat melalui bentuk arsitektur pada sebagian besar bangunan seperti candi, gapura dan petirtaan pada masa itu. Menurut sejarahnya, keberadaan Candi Borobudur merupakan bangunan suci sebagai tempat untuk peribadatan dan pemujaan bagi para penganut agama Budha Mahayana.

Mempelajari bangunan suci Candi Borobudur sebagai situs cagar budaya, melalui prasasti yang merupakan sumber penjelasan tentang narasi sejarah keberadaan situs peninggalan purbakala di Jawa pada masa Mataram Kuno. Bangunan suci agama Budha Borobudur merupakan situs cagar budaya peninggalan dari wangsa Syailendra, yang dibangun pada abad ke-9 oleh Samaratungga, dan sejarah keberadaannya disebutkan dalam dua prasasti, yaitu prasasti Karangtengah dan Sri Kahulunan.

Chandi Borobudur
Candi Budha Mahayana dibangun abad ke-9, masa pemerintahan Wangsa Syailendra, disebutkan dalam prasasti Karangtengah dan Sri Kahulunan. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Prasasti Borobudur

Candi Borobudur merupakan salah satu situs cagar budaya, bangunan candi terbesar yang ada di Jawa, dan keberadaan bangunan ini sebagai bangunan suci merupakan tempat pemujaan bagi penganut agama Budha Mahayana. Bangunan suci Candi Borobudur, melalui prasasti - prasasti yang menjadi sumber penjelasan tentang narasi sejarah merupakan peninggalan Wangsa Syailendra yang dibangun pada abad ke-9 oleh Samaratungga.

Mengkaji lebih dekat bangunan suci Candi Borobudur sebagai situs cagar budaya, melalui prasasti yang menjadi sumber penjelasan tentang narasi sejarah keberadaan situs - situs kuno di Jawa pada masa Mataram Kuno. Bangunan suci Budha Borobudur merupakan situs cagar budaya peninggalan Wangsa Syailendra yang dibangun pada masa Samaratungga, dan sejarah keberadaannya disebutkan dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Karangtengah dan Prasasti Sri Kahulunan. Ditemukan terdapat tulisan / aksara yang tertulis di kaki candi pada sudut tenggara Borobudur pada relief Karmawibhangga memiliki persamaan dengan jenis tulisan/aksara yang umum digunakan dalam penulisan prasasti kerajaan pada abad ke-8 dan ke-9.

Dalam menjelaskan tentang prasasti Jawa Kuno yang telah ditemukan, umumnya menyebutkan keberadaan suatu bangunan atau candi kuno. Namun tidak ditemukan dokumen atau bukti tertulis yang menjelaskan secara rinci siapa yang membangun Chandi Borobudur dan apa kegunaannya. Bangunan ini diperkirakan dibangun oleh Samaratungga pada masa Wangsa Sailendra sekitar tahun 800 Masehi.

Sejarah menyebutkan pembangunan Candi Borobudur membutuhkan waktu sekitar 100 tahun, dan bangunan suci ini selesai pada masa pemerintahan Raja Samaratungga pada tahun 824 M. Candi Budha Borobudur dibangun hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, pembangunan Borobudur diperkirakan telah selesai lebih awal sebelum pembangunan Candi Siwa Prambanan dimulai pada tahun 850 M. Periode waktu ini bertepatan dengan periode antara tahun 760 dan 830 M, puncak kejayaan Wangsa Syailendra di Jawa Tengah yang saat itu dipengaruhi oleh Kerajaan Sriwijaya.

Dengan menilik sejarah masa lalu menggunakan prasasti sebagai sumber utama penjelasan, keberadaan prasasti yang ditemukan pada masa Mataram Kuno menunjukkan bahwa raja - raja yang memerintah Jawa beragama Hindu atau Budha. Wangsa Syailendra diketahui menganut agama Budha Mahayana, sebagaimana disebutkan dalam penemuan Prasasti Sojomerto, yang menunjukkan bahwa pada awalnya kemungkinan besar beragama Hindu Siwa. Akibatnya, banyak candi - candi Hindu dan Budha dibangun di Dataran Kedu pada masa itu.

Berdasarkan dokumen sejarah pada masa Mataram Kuno, menyebutkan tentang keberadaan Prasasti Canggal. Prasasti ini berangka tahun 732 M, yang menjelaskan raja yang beragama Siwa, yaitu Sanjaya telah memerintahkan untuk mendirikan bangunan suci Shiwalingga yang berada di perbukitan Gunung Wukir, terletak hanya sekitar 10 km di sebelah timur Borobudur. Candi Budha Borobudur dibangun hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, namun Borobudur diperkirakan selesai sekitar tahun 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum pembangunan candi Siwa Prambanan dimulai pada tahun 850 M.

Menjelaskan tentang sejarah masa Jawa Kuno, pembangunan candi - candi Budha; termasuk Candi Borobudur, pada masa itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, menyebutkan Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Budha untuk membangun bangunan suci. Dalam hal ini, untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada Sangha (masyarakat Budha), atas pemeliharaan dan juga pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk tujuan memuliakan Bodhisattwadewi Tara yang disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.

Hal ini dapat dipahami oleh para arkeolog, mengenai kehidupan pada masyarakat Jawa, bahwa agama tidak pernah menjadi isu yang dapat menimbulkan konflik, misalnya saja raja-raja yang beragama Hindu dapat mendukung dan mendanai dalam pembangunan candi Budha, begitu pula sebaliknya. Namun diduga terjadi persaingan antara dua dinasti kerajaan saat itu, yaitu Wangsa Syailendra yang menganut agama Budha dan Wangsa Sanjaya yang memuja Siwa, kemudian Wangsa Sanjaya memenangkan dalam pertempuran pada tahun 856 M di perbukitan Ratu Boko.

Kerancuan pun muncul mengenai Candi Lara Jonggrang di Prambanan yang diyakini dibangun oleh Rakai Pikatan sebagai jawaban Wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur yang dimiliki oleh Wangsa Syailendra, namun banyak pihak yang meyakini adanya suasana toleransi dan kebersamaan dalam kehidupan damai antara kedua wangsa ini yaitu Wangsa Syailendra, juga terlibat dan memiliki andil dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.

Prasasti Karangtengah

Prasasti Karangtengah / Kayuwungan merupakan salah satu prasasti yang menjelaskan tentang keberadaan pembangunan Borobudur. Dijelaskan dalam narasi sejarah, prasasti ini ditemukan di Dusun Karangtengah. Prasasti Karangtengah terdiri dari dua bagian, bagian pertama tersusun dalam bahasa Sanskerta dan bagian kedua berbahasa Jawa Kuna, namun baris terakhir belum menjadi baris penutup, karena belum diketahui kelanjutan isi prasasti tersebut, bagian batu pecah di bagian bawah telah hilang. Prasasti bagian pertama yang berbahasa Sanskerta memuat informasi tentang Samaratungga, yaitu sebagai permata dinasti Sailendra, dan menyebutkan putrinya bernama Pramodawardhani, yang berjasa membangun candi Budha.

Deskripsi prasasti berangka tahun 824 Masehi, jadi ini erat kaitannya dengan pendirian patung, kemungkinan terbuat dari perunggu, karena konon bersinar seperti bagian bulan, di kuil yang didedikasikan untuk patung ini. Selain itu, prasasti tersebut juga mencantumkan harapan bagi mereka yang telah berjasa mendirikan vihara Budha, untuk mendapatkan imbalan atas pencapaian kesepuluh kesusahan, yaitu menjadi Budha. Bagian penutup berupa ajakan kepada keturunannya untuk menabung demi kelangsungan bangunan suci ini. Bagian kedua prasasti Jawa Kuna berangka tahun 824 Masehi memuat penetapan hibah, berupa sejumlah sima atau perdikan sawah, yang dimaksudkan untuk kelangsungan bangunan suci, disertai rincian tanah-tanah tersebut. Bagian penutup prasasti ini telah hilang sehingga kata-kata terakhirnya tidak banyak diketahui.

Prasasti ini berangka tahun 824 M, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat sejarah, bahwa prasasti ini ditemukan di Dusun Karangtengah. Prasasti Karangtengah terdiri dari dua bagian, bagian pertama ditulis dalam bahasa Sansekerta dan bagian kedua dalam bahasa Jawa Kuno, namun baris terakhir belum menjadi baris penutup, karena belum diketahui isi prasasti tersebut, satu bagian dari prasasti tersebut yaitu pecahan batu di bagian bawah hilang.

Prasasti pada bagian pertama berbahasa Sansekerta memuat informasi tentang Samaratungga yaitu sebagai permata dinasti Sailendra dan menyebutkan putrinya Pramodawardhani yang berjasa dalam membangun candi Budha tersebut. Uraian prasasti tersebut berangka tahun 824 M, sehingga berkaitan erat dengan pendirian sebuah patung, kemungkinan besar terbuat dari perunggu, karena konon bersinar seperti bagian bulan, di candi yang dipersembahkan untuk arca tersebut.

Selain itu, prasasti tersebut juga memuat harapan agar mereka yang berjasa mendirikan vihara Budha tersebut akan mendapat pahala karena telah mencapai pencerahan atau kasugatan kesepuluh, yakni menjadi Budha. Bagian penutupnya adalah ajakan kepada keturunan untuk menabung demi keberlangsungan bangunan suci ini. Prasasti Jawa Kuno bagian kedua berangka tahun 824 M memuat penetapan hibah berupa sejumlah sima atau sawah yang diperuntukkan bagi kelangsungan bangunan suci beserta rincian tanahnya. Bagian penutup prasasti ini telah hilang sehingga kata-kata terakhirnya tidak banyak diketahui.

Sementara terkait pendirian patung perunggu di sebuah candi, menurut De Casparis, ia meyakini patung tersebut tak lain adalah patung Raja Indra yang wafat dan menguburkan abunya di kuil yang khusus diperuntukkan baginya. Raja Indra merupakan raja dari dinasti Syailendra yang menerbitkan prasasti Kelurak pada tahun 782 Masehi. Menurut De Casparis, prasasti Kayumwungan dimaksudkan untuk memperingati berdirinya dan dibangunnya beberapa candi seperti Borobudur, Pawon dan Mendut oleh Samaratungga.

Prasasti Sri Kahulunan
Salah satu prasasti Borobudur, sebagai bangunan suci, merupakan tempat untuk pemujaan bagi penganut agama Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Prasasti Tri Tepusan

Prasasti Tri Tepusan atau disebut juga Sri Kahulunan, berangka tahun 842 Masehi. Menurut penjelasan dalam Prasasti Tri Tepusan/Sri Kahulunan disebutkan bahwa Sri Kahulunan ialah Pramodawardhani yang sebenarnya telah berjasa dalam menyediakan dan menghibahkan tanah perdikan untuk pemeliharaan bangunan suci bernama Kamul ni Bhumi Sambhara, artinya melambangkan tempat berkumpulnya segala kebajikan umat Buddha, yaitu bangunan suci dengan 10 lantai atau tingkat. Hal ini secara tidak langsung menyebutkan tentang Borobudur.

Prasasti Tri Tepusan menjelaskan tentang prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Kahulunan. Hal ini menurut De Casparis diyakini sebagai penyebutan nama Pramodawardhani, yaitu putri dari Samaratungga yang disebutkan secara samar-samar dalam prasasti Karangtengah. Dalam prasasti ini disebutkan Pramodawardhani bergelar Sri Kahulunan, sesuai dengan pendapat menurut Soekmono, Poesponegoro dan Notosusanto.

Prasasti Tri Tepusan / Sri Kahulunan tahun 842 Masehi berisi tentang penghargaan dan penetapan desa Tri i Tpusan menjadi sima atau wilayah kekuasaan atas nama suatu tempat bernama Kamulan di Bhumisambhara. Prasasti ini juga menyebutkan perintah Sri Kahulunan dalam memberikan batas-batas tanah yang menjadi sima.

Nama Borobudur

Menyebutkan bangunan-bangunan kuno yang berasal dari periode Jawa Kuno dalam narasi sejarah Indonesia yang umumnya disebut candi. Mula-mula mereka tidak hanya menyebutkan nama bangunan candi saja, namun juga struktur bangunan serta benda-benda lain seperti bentuk gapura, pintu gerbang dan tempat pemandian bangunan itu berada. Namun ada pula yang menjelaskan bahwa mereka tetap mempertahankan namanya, selama ini desa-desa tersebut diberi nama sesuai dengan ditemukannya candi tersebut. Boleh diucapkan, namun sulit diketahui apakah nama Candi Borobudur dinarasikan dan berasal dari desa tempat bangunan tersebut berada.

Dalam sejarah Jawa kuno pada abad ke-18 disebutkan adanya suatu bukit bernama Borobudur. Saat itu Sir Thomas Stamford Raffles, orang yang menemukan candi tersebut datang untuk melakukan suatu penelitiannya. Ia menceritakan pada tahun 1814 tentang keberadaan candi atau bangunan kuno bernama Borobudur di desa Bumisegoro, oleh penduduk setempat. Borobudur, rupanya itulah nama asli bangunan tersebut. Namun belum ditemukan dokumen tertulis mengenai namanya.

Salah satu naskah Jawa kuno berangka tahun 1365 M, adalah Nagarakrtagama yang disusun oleh Mpu Prapanca, menyebut kata 'Budur' dalam namanya sebagai tempat suci aliran Budha, Vajradhara. Bukan tidak mungkin nama 'Budur' dikaitkan dengan Borobudur, namun karena belum ada informasi lebih lanjut, hingga kini identifikasi pasti sulit dilakukan. Desa-desa terdekat selalu menggunakan kata 'Bore', mungkin merupakan bagian pertama dari nama asli bangunan tersebut.

Faktanya, penjelasan De Casparis sudah banyak yang menjelaskan dan tidak ada lagi solusi yang dikemukakan. Moens berpendapat bahwa, dalam analogi Bharasiwa India Selatan yang menunjukkan penganut Dewa Hindu Siva, monumennya diasosiasikan dengan 'Bharabuddha' atau penegak Budha yang bersemangat. Nama 'Borobudur' kemudian menjadi kependekan dari 'Bharabuddha' dalam bahasa Tamil, ditambah kata 'ur' yang berarti 'kota', sehingga berarti 'Kota Para Penegak Budha'.

Namun kata majemuk 'Boro Budur' sulit dijelaskan, namun sebaliknya sebagaimana makna 'Budur adalah tempat suci di desa Boro' penafsirannya akan berbeda dengan kaidah dalam bahasa Jawa yang mengharuskan kata tersebut Budur Boro bukannya Boro Budur. Raffles mendapat usulan tentang kata 'Budur', mungkin sesuai dengan kata Jawa kuno 'Buda', sehingga Borobudur berarti 'Boro kuno'. Ia memberikan hipotesis lain tentang Boro yang berarti 'besar', dan Budur adalah 'Budha', yang disebut 'Budha Besar'.

Sebenarnya, 'Boro' seharusnya berarti lebih 'terhormat', yang berasal dari kata Jawa Kuno 'Bhara', sebuah awalan yang menakutkan, jadi 'tempat suci Budha yang dihormati' akan lebih tepat. Kata 'Boro' mungkin juga merupakan kata Jawa Kuno 'Bhara' yang berarti 'banyak', sehingga menafsirkan 'Borobudur' sebagai tempat suci 'banyak Budha' juga mengandung klaim yang sama.

Penafsiran yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Ia mengira kata 'boro' merupakan singkatan dari kata 'vihara' yang berarti 'biara'. Borobudur kemudian berarti 'Biara Budur'. Disebutkan fondasi biara yang digali kemudian selama penggalian arkeologi yang dilakukan di dataran tinggi sebelah barat monumen pada tahun 1952. Karena nama 'Budur' disebutkan dalam Nagarakrtagama, interpretasi yang diberikan oleh Poerbatjaraka mungkin benar. Anggapan demikian berarti vihara merupakan bangunan suci.

Semua penjelasan di atas didasarkan pada penafsiran kata penyusun 'Boro' dan 'Budur'. Kemudian De Casparis mencoba menelusuri kedua kata tersebut kembali ke asal usulnya. Ia mencontohkan, bahwa nama 'Bhumisambharabhudhara' yang berarti tempat suci pemujaan leluhur, ditemukan pada dua prasasti batu yang berasal dari tahun 842 Masehi. Ia menyimpulkan bahwa tempat suci Bhumisambharabhudhara tidak lain adalah Borobudur kita, dan perubahan nama tersebut kini terjadi melalui penyederhanaan normal dari apa yang terjadi dalam bahasa lisan.

Pemandangan Borobudur dari bukit Dagi
Keindahan Borobudur dari bukit Dagi. Dibangun diatas bukit di tengah kehijauan alam perbukitan Menoreh di dataran Kedu. Diduga dulu di sekeliling Borobudur adalah danau purba. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Borobudur atau disebut Barabudur, merupakan candi Budha Mahayana, nama Borobudur berasal dari dua kata, yaitu 'bara' yang berasal dari kata 'biara' yang berarti candi atau tempat peribadatan bagi umat Budha, dan kata 'budur' yang berasal dari kata Bali, 'beduhur' yang artinya 'di atas' atau 'bukit'. Maka arti kata 'biara dan beduhur' berubah menjadi Bara Budur, karena bunyinya bergeser menjadi Borobudur yang berarti candi atau biara di atas bukit.

Nama Bore-Budur kemudian ditulis BoroBudur kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa yang paling dekat, yaitu desa Bore (Boro); Kebanyakan candi diberi nama sesuai desa tempat candi berdiri. Raffles menduga istilah 'Budur' ada kaitannya dengan istilah Jawa Buda yang berarti "kuno", artinya "Boro kuno".

Para arkeolog berpendapat bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung. R.M. Ng. Poerbatjaraka menerjemahkan boro sebagai 'biara'. Pendapat ini didasari nama tempat diawali dengan kata boro yaitu Boro kidul yang berarti 'Biara di Selatan', kemudian Stutterheim menambahkan pada 'Boro sidengan'. Boro-kidul dan Boro sidengan keduanya cukup jauh dari Borobudur.

Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara yang berarti "gunung" (bhudara) yang di lerengnya berundak-undak. Selain itu etimologi rakyat menyebut kata borobudur berasal dari “Buddha”, pergeseran bunyi menjadi borobudur.

Nama Borobudur berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara berasal dari kata vihara, dimana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kompleks pura atau vihara dan beduhur berarti "tinggi", atau dalam bahasa Bali berarti "di atas". Adalah vihara atau asrama yang terletak di dataran tinggi atau bukit.

Sejarawan J.G. de Casparis menjelaskan nama Borobudur adalah tempat ibadah. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, pendiri Borobudur ialah raja Mataram dari dinasti Syailendra, Samaratungga tahun 824 Masehi. Bangunan ini selesai pada masa putrinya Pramudawardhani. Prasasti Karangtengah menyebutkan pemberian tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Sri Kahulunan (Pramudawardhani) untuk Kamulan yang disebut Bhumisambhara. Istilah Kamulan berasal dari kata mula berarti tempat asal, bangunan suci untuk menghormati leluhur dinasti Sailendra. Casparis memperkirakan Bhumi Sambhara Bhudhara dalam bahasa Sansekerta yang berarti "Bukit kumpulan kebajikan sepuluh tingkat boddhisattva" adalah nama asli Borobudur.

Barisan stupa berlubang teras atas
Stupa utama terletak di tengah memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang di dalamnya terdapat arca Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Lingkungan Borobudur

Menyebutkan pulau besar bernama Jawa. Konon Pulau Jawa merupakan pulau yang tiada tandingannya dalam hal hasil pertanian khususnya padi, kaya akan tambang emas yang hanya diakui sebagai milik para dewa, dan pulau yang penuh dengan tempat-tempat suci dan keramat. Sebagai tempat yang bertujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan dunia.

Pemandangan alam pedesaan
Keindahan pemandangan lansekap pedesaan Jawa Kuno, cara hidup di tempat sawah Borobudur. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Lansekap pedesaan Jawa Kuno meliputi beberapa cakupan yang lebih kepada daerah tempat berada pada lingkungan pertanian dan pengelolaan lahan. Pada candi Borobudur terdapat panil relief cerita mengenai relief pertanian, pada dinding Candi Borobudur.

Konon kawasan sekitar 'Paku Jawa' yang lebih dikenal dengan sebutan 'Dataran Kedu' merupakan wilayah yang menjadi pusat geografis pulau ini. Terkenal dengan lahan tanahnya yang sangat subur, dan juga masyarakatnya yang sangat rajin, itulah alasannya daerah ini sering disebut dengan “Taman Jawa”.

Dataran kedu yang subur nan hijau, daerah yang hampir di semua wilayahnya dikelilingi oleh barisan pegunungan dan bukit, ini seolah-olah memberikan keindahan dan kecantikan pemandangan alam. Keberadaan dua pasang gunung berapi yang menjulang tinggi ke angkasa adalah gunung Merapi dan Merbabu berada di timur laut, serta gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah barat laut. Memandang ke sisi barat dan selatan dataran dibatasi oleh rantai panjang perbukitan, yang membentuk kaki-kaki berbatu yang kokoh dengan bentuk yang tak terbatas. Oleh karena itu menjelaskan tentang jajaran perbukitan Menoreh, kata menoreh mempunyai arti menara.

Sudut tenggara dataran adalah satu-satunya yang tidak terhalang oleh barisan pegunungan; di titik ini, rantai Menoreh membelok ke selatan sebelum mencapai kaki Merapi. Dan melalui jalur inilah perairan wilayah Kedu meninggalkan dataran dan mengalir ke Samudera Hindia. Dataran Kedu berpotongan dengan dua sungai utama di wilayah ini yaitu Progo dan Elo yang keduanya mengalir hampir sejajar dari utara ke selatan.

Sebagian besar bangunan suci di dataran Kedu didirikan di sini. Tempat-tempat suci Hindu dan Budha, bisa dikatakan, dikemas bersama dalam radius kurang dari tiga kilometer dari titik pertemuan dua sungai Kedu. Dari barat ke timur, bangunan suci Buddha utama di daerah ini adalah: Candi Borobudur, Candi Pawon, Candi Mendut, dan kompleks Candi Ngawen yang terdiri dari lima struktur.Tiga cagar alam pertama diasumsikan telah membentuk satu kompleks juga; meskipun berdiri pada jarak yang cukup jauh satu sama lain, garis lurus yang ditarik dari Candi Borobudur ke Candi Mendut melalui Candi Pawon menunjukkan kesatuan triad. Tata letak seperti ini, bagaimanapun, tidak ditemukan di Borobudur. Candi Mendut berjarak sekitar tiga kilometer dari Candi Borobudur, sedangkan Candi Pawon berjarak sekitar setengahnya.

Borobudur, Pawon dan Mendut, satu garis lurus.
Tiga cagar alam diasumsikan membentuk satu kompleks, berdiri pada jarak yang cukup jauh satu sama lain, garis lurus yang ditarik dari Candi Borobudur ke Candi Mendut melalui Candi Pawon menunjukkan kesatuan triad. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Candi Borobudur tidak memiliki ruangan didalamnya, serta tidak ada tempat dimana umat Budha dapat beribadah. Kemungkinan besar bahwa bangunan itu adalah tempat ziarah, di mana umat Budha dapat mencari suatu kebijaksanaan yang tertinggi untuk mendapatkan pencerahan. Pada lorong-lorong di sekitar bangunan, yang berturut-turut naik ke teras paling atas, jelas dimaksudkan untuk mengelilingi ritual.

Dipandu oleh serangkaian deretan relief narasi, peziarah berjalan dari satu teras ke teras lain dalam kontemplasi meditasi hening. Candi Mendut, disisi lain, tampaknya menjadi tempat untuk pemujaan. Candi Pawon yang sangat kecil juga memiliki ruangan di dalamnya, akan tetapi bangunan ini tidak mengungkapkan tentang dewa apa yang mungkin menjadi objek untuk pemujaan.

Berasumsi bahwa peziarah harus melewati Candi Pawon dalam perjalanan prosesi dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur disepanjang jalur prosesi, terdapat jalan beralas batu yang mungkin menunjukkan bahwa Candi Pawon adalah semacam pusat dalam suatu perjalanan panjang. Setelah disucikan melalui upacara-upacara ibadah yang utama di Candi Mendut, dan Candi Pawon merupakan tempat untuk berhenti sejenak dan merenung sebelum pada akhirnya melanjutkan perjalanan ziarah ke Candi Borobudur dimana beberapa rangkaian perjalanan telah menanti.

Catatan Sejarah Borobudur

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Candi Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m diatas permukaan laut dan 15 m di atas dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20, dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau.

 Ilustrasi menyerupai bunga teratai.
Keindahan Borobudur dalam ilustrasi pemandangan candi Budha dibangun ditengah dataran Kedu. Diduga dulu di sekeliling Borobudur adalah danau purba. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. Seringkali digenggam oleh Bodhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa.

Pemandangan stupa dan bukit Menoreh
Keindahan Borobudur, legenda Gunadharma dalam cerita rakyat tentang perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan tubuh Gunadharma berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Menurut legenda, arsitek yang merancang candi Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui, namanya lebih banyak berdasarkan pada dongeng dan legenda Jawa, bukan berdasarkan prasasti sejarah. Legenda tentang arsitek Borobudur bernama Gunadharma dengan cerita rakyat tentang perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang yang sedang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan Gunadharma yang berubah menjadi perbukitan Menoreh.

Candi Borobudur merupakan situs cagar budaya peninggalan Wangsa Syailendra, candi Budha ini terletak di atas sebuah bukit di dataran yang dikelilingi oleh dua gunung Sundoro-Sumbing di barat laut dan Merbabu-Merapi di timur laut, di utara adalah bukit Tidar, dan di selatan adalah pegunungan Menoreh, dan terletak di dekat pertemuan dua sungai, Progo dan Elo di sebelah timur.

Terletak Borobudur atau Barabudur, namanya berasal dari dua kata, yaitu kata 'bara' berasal dari kata 'biara' yang berarti tempat ibadah atau candi Budha, dan kata 'budur' berasal dari bahasa Bali. Kata 'beduhur' yang berarti 'di atas' atau 'bukit'. Kemudian arti kata 'biara dan beduhur' berubah menjadi Bara Budur, karena bunyinya bergeser menjadi Borobudur yang berarti candi atau biara di atas bukit.

Candi Borobudur merupakan candi Budha Mahayana yang terdiri dari enam teras persegi, dan tiga teras melingkar, serta terdapat stupa terbesar di tengahnya, yang dikelilingi oleh 72 stupa berlubang, serta dihiasi 2.672 panel relief dan 504 arca Budha. Candi Borobudur dibangun pada abad ke-9 pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra. Candi ini didesain dengan bentuk arsitektur Budha Jawa, perpaduan budaya pemujaan leluhur asli Indonesia dan konsep agama Budha untuk mencapai Nirwana.

Candi Borobudur merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk mengagungkan Budha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk membimbing umat manusia dari alam keinginan duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan tertinggi sesuai dengan ajaran Budha.

Peziarah yang masuk melalui sisi timur memulai ritual, berjalan searah jarum jam, menaiki tangga melalui tiga tingkat alam spiritual dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan tersebut adalah Kamadhatu (ranah nafsu), Rupadhatu (ranah wujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga, melihat 1.460 panel relief yang diukir di dinding dan langkan.

Menurut sejarah, Candi Borobudur ditinggalkan sekitar abad ke-14, dan pertama kali ditemukan kembali oleh Sir Thomas Stamfort Rafles, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Jawa.

Penjelasan kapan Candi Borobudur ditinggalkan dan tidak digunakan lagi oleh umat Budha belum dapat diketahui secara pasti, namun penjelasannya lebih berkaitan dengan perpindahan kerajaan Mataram kuno yang saat itu berkuasa ke Jawa Timur.

Borobudur terbengkalai dan terbengkalai selama kurang lebih 800 tahun dan terkubur di bawah lapisan tanah dan abu vulkanik, sehingga saat itu bangunan Candi Borobudur berada di dalam bukit. Alasan sebenarnya ditinggalkannya masih belum diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat keagamaan umat Budha.

Menurut penuturan sejarah Jawa kuno, pada kurun waktu antara tahun 928 hingga tahun 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Medang ke wilayah Jawa Timur setelah beberapa kali terjadi letusan gunung berapi, namun beberapa sumber menduga bahwa kemungkinan besar Borobudur mulai ditinggalkan selama periode ini.

Bangunan suci Borobudur mulai disebutkan sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam bukunya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit yang menyebutkan adanya “Vihara di Budur”. Selain itu Soekmono (1976) juga mengatakan bahwa candi ini mulai ditinggalkan sama sekali sejak penduduk setempat masuk Islam pada abad ke-15. Candi Borobudur, melalui cerita rakyat sebagai bukti kejayaan masa lalu, telah menjadi cerita takhayul, yang dikaitkan dengan kemalangan dan penderitaan.

Pada kurun waktu 1811 hingga 1816, Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Jenderal, dan memiliki ketertarikan terhadap sejarah Jawa dan benda-benda antik seni Jawa kuno, serta membuat catatan tentang sejarah kebudayaan Jawa. Dalam kunjungan inspeksinya ke Semarang pada tahun 1814, ia diberitahu tentang sebuah bangunan besar di dekat desa Bumisegoro. Kemudian karena ketidakhadirannya, memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, menyelidiki keberadaan bangunan ini.

Dalam dua bulan, Cornelius bersama 200 orang membersihkan bangunan Borobudur dari semak-semak dan lapisan tanah. Karena adanya ancaman longsor, pengerjaan tidak dapat dilanjutkan, kemudian apa yang dilakukan dalam pengerjaan dilaporkan kepada Raffles, termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Raffles berjasa menemukan kembali bangunan yang pernah hilang.

Setelah pemugaran oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO, Candi Borobudur masuk dan terdaftar sebagai salah satu situs warisan budaya dunia pada tahun 1991, sehingga bangunan ini menjadi bagian dari bangunan terbesar di dunia. Candi Borobudur merupakan candi Budha Mahayana yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.

Chandi Borobudur
Situs Warisan Budaya Dunia sejak tahun 1991, salah satu pemandangan Borobudur dari barat laut. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Nama borobudur berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata “bara” berasal dari kata “vihara”, dalam bahasa Sanskerta berarti “candi”. Kata “beduhur” artinya ialah "tinggi", dalam bahasa Bali yang berarti "di atas".

Disebutkan bahwa Candi Borobudur terletak tepat di atas bukit dan dibangun di tengah beberapa gunung dan perbukitan. Melihat ke arah barat terdapat Gunung Sundoro dan Gunung Sumbing. Di sebelah timur terdapat Gunung Merbabu dan Merapi. Melihat ke utara, kurang lebih 15 kilometer dari Borobudur terdapat bukit Tidar, dan di selatan dibatasi oleh perbukitan Menoreh. Borobudur terletak di pertemuan dua sungai yaitu Progo dan Elo yang terletak di sebelah timur Candi Borobudur dan Candi Pawon.

Chandi Borobudur
Situs Warisan Budaya Dunia, candi Budha terdiri atas enam teras bujur sangkar diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, dindingnya dihiasi oleh 2.672 panel relief dan terdapat 504 arca Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.


Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide.

Baca narasi dan materi lengkap tentang Candi Borobudur dengan berkunjung dan jadikan wisata Anda semakin menyenangkan, jelajahi lebih detail narasi budaya Borobudur. Membaca menjadi lebih menyenangkan, dengan menggali narasi lebih detail dan membaca dalam bahasa Inggris memang menyenangkan dan juga terkesan sangat menarik untuk diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dan fleksibel, dapatkan bacaan detail di Welcome to Borobudur Temple, the fabric of life in the Buddhist culture. Jelajahi, kagumi keindahan seni rupa dalam gambar dan foto di PHOTO IMAGE BOROBUDUR.

Chandi Borobudur
Chandi Borobudur atau Barabudur merupakan candi Buddha Mahayana yang dibangun pada abad ke-9, terdiri dari sembilan teras bertingkat, enam teras persegi, dan tiga teras melingkar, di atasnya terdapat kubah tengah, dikelilingi oleh 72 stupa dan dihiasi 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide
.

Chandi Borobudur or Barabudur
is a 9th–century Mahayana B uddhist temple, which consists of nine stacked platforms, six square and three circular, topped by a central dome, surrounded by 72 stupas and decorated with 2,672 relief panels and 504 Buddha statues. Source: Guidance Technique Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Comments